, ,

Kominfo Barru Bela Diri Kerja Sama dengan Media Berbasis Eksistensi, Bukan Kedekatan

by -584 Views

Media dan Anggaran di Barru: Antara Eksistensi, Kemitraan, dan Pertanggungjawaban Publik

NEWS BARRU– Di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, udara pagi masih menyisakan kesegaran, tapi ruang rapat Komisi I DPRD justru memanas. Bukan karena AC yang mati, melainkan karena pertanyaan kritis yang menggelayuti setiap laporan realisasi anggaran. Dinas Komunikasi, Informatika, dan Persandian (Kominfo-SP) memaparkan capaian mereka lebih dari Rp4 miliar dari total anggaran Rp6 miliar telah terealisasi di semester pertama 2025. Angka yang terlihat gemilang di atas kertas.

Tapi, seperti kata pepatah lama, “Anggaran bukan sekadar deretan angka, melainkan cermin prioritas.” Dan di Barru, prioritas itu sedang dipertanyakan—terutama ketika menyangkut dana publik yang mengalir ke media.

Babak I: Media “Karbitan” vs Media yang Berakar

Ketua Komisi I DPRD Barru, Ir. H. Mursalim, membuka diskusi dengan pertanyaan yang menusuk: “Media yang bekerja sama dengan pemerintah, apakah benar-benar ada atau sekadar proyek?”

Pertanyaan ini bukan tanpa alasan. Di banyak daerah, fenomena “media instan” kerap muncul saat anggaran dibuka—media yang tiba-tiba eksis, rajin memberitakan program pemerintah, lalu menghilang setelah dana cair.

Saat Media Diperiksa Mikroskop: DPRD Barru ,Bedah Anggaran dan “Darimana Media Itu Lahir” - Sumber : Global.katasulsel.com - BeritaSatu Network

Baca Juga: Kabupaten Barru Raih Penghargaan Nasional atas Inovasi Pendanaan Lingkungan

Kepala Dinas Kominfo, Syamsuddin, S.IP, berusaha meyakinkan bahwa kerja sama dengan media dilakukan berdasarkan tiga kriteria:

  1. Eksistensi (apakah media tersebut benar-benar beroperasi?)

  2. Konsistensi (apakah kontennya berkelanjutan atau sekadar musiman?)

  3. Kontribusi (apakah memberi manfaat bagi publik atau hanya bagi segelintir pihak?)

Namun, legislator dari Gerindra, Armansyah, SE, tak mau terjebak retorika. Ia mengingatkan:
“Jangan sampai media lama yang sudah puluhan tahun mengabarkan informasi ke masyarakat justru tersingkir karena media baru yang tiba-tiba muncul saat anggaran digelontorkan.”

Ini adalah warning penting. Sebab, media bukan sekadar alat penyampai pesan, melainkan pilar demokrasi. Jika pemerintah hanya memilih media yang “jinak” atau “karbitan”, maka informasi yang sampai ke publik bisa bias—hanya berisi pujian, tanpa kritik konstruktif.

Babak II: Dilema Kominfo antara Kebutuhan dan Kredibilitas

Di tengah tekanan legislatif, Syamsuddin mengaku bahwa keputusan akhir tetap ada di tangan Bupati Barru. Ini menarik, karena menunjukkan bahwa politik media di daerah tidak sepenuhnya independen.

Pertanyaannya:

  • Apakah pemerintah daerah memilih media berdasarkan kualitas atau kedekatan?

  • Bagaimana mekanisme pengawasan agar anggaran tidak hanya dinikmati segelintir media “favorit”?

Armansyah menyarankan agar Kominfo membuat pemetaan media yang jelas:

  • Media mana yang benar-benar memiliki basis pembaca/pemirsa.

  • Media mana yang sekadar “tumbuh saat hujan, mati saat kemarau” (baca: muncul saat ada proyek).

Jika tidak, maka yang terjadi adalah pemborosan anggaran. Dana yang seharusnya untuk pemberdayaan informasi publik, malah berubah jadi proyek bagi kelompok tertentu.

Inilah pertanyaan paling krusial: Haruskah media independen bergantung pada anggaran pemerintah?

Di satu sisi, media lokal kerap kesulitan mencari iklan komersial, sehingga kerja sama dengan pemerintah menjadi “nafas” mereka. Tapi di sisi lain, jika ketergantungan ini terlalu besar, kritik terhadap kebijakan bisa dibungkam.

telkomsel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.